Arti Sebuah Kepedihan
380 km menjadi jarak terjauh yang aku tempuh. Memang bukan pertama kalinya aku
pergi mengunjungi tempat ini, akan tetapi kunjungan kali ini bukanlah untuk
melepas kepenatan menjalani kehidupan, yaitu menjadi tempat berawalnya perjalanan
pendidikanku di Kota Gudeg Yogyakarta ini.
Menjadi
seorang mahasiswa rantau bukanlah paksaan. Jauh dari kampung halaman pun
bukanlah keinginan. Terkadang merantau sejauh-jauhnya yang akan menjadi alasan
kenapa aku harus pulang ketempat awal mula yaitu kampung halaman.
Melanjutkan
pendidikan di kota ini menjadi perjalananku selanjutnya. Memang tak sedikit
yang bernasib sama denganku. Banyak mahasiswa yang memang bukan asli dari Kota
Gudeg ini, yang pastinya memiliki lika-liku kehidupan yang baru sama sepertiku.
Jauh
dari orang tua menjadi motivasi tersendiri untuk proses pendewasaanku. Memang
tak mudah, tapi inilah kenyataannya. Sebagai “anak rantau” yang hidupnya harus
selalu perhitungan, entah perhitungan waktu, kegiatan, bahkan yang paling terpenting
adalah perhitungan uang. Menjalani kehidupan yang jauh dari orang tua, bukanlah
hal yang mudah bagi setiap orang. Mengatur setiap pengeluaran akan semakin
sulit dengan bertambahnya daftar barang yang harus aku pakai. Adakalanya aku
harus menahan rasa lapar, bukan karena diet ataupun memang malas untuk makan.
Tetapi menahan lapar ini adalah kewajibanku agar uang yang dikirimkan orang tuaku
bisa cukup sampai dengan waktu kiriman selanjutnya. Mungkin semua yang aku
alami, pastinya telah dirasakan oleh anak rantau lainnya.
Aku
harus menyadari bahwa jauh dari orang tua bukanlah menjadikan aku bebas
melakukan segala hal. Justru sebaliknya apa yang orang tuaku korbankan untuk
memenuhi kebutuhan anaknya, harus aku balas dengan kebanggan yang diharapkan
oleh orang tuaku.
Menahan
lapar bukan hal yang aneh lagi bagiku. Tapi dari situ aku bisa mengetahui
banyak hal. Pengorabanan dari orang tuaku, rasa lapar, lelah, letih, semua itu
mereka lupakan agar mereka bisa mencari uang sebanyaknya dan bisa memenuhi
kebutuhanku selama aku menitih pendidikan di kota ini. Sempat aku melupakan hal itu. Saat dimana aku
merasakan kebebasan yang memang tak pernah aku raih saat dekat dengan orang
tuaku, disitulah aku mulai hancur. Pengorbanan orang tuaku yang mestinya selalu
aku ingat dan menjadikannya motivasi agar aku bisa tumbuh justru hanyut karena
terbawa suasana yang membawaku hilang kendali. Arus ini yang membuatku harus
merasakan rasa pahit menahan lapar dan menunda perasaanku untuk bernafsu makan.
Sekarang
aku mengerti. Arti dari rasa pahit yang aku rasakan ini tak sebanding dengan
apa yang orang tuaku rasakan bahkan mereka telah biasa merasakannya hanya untuk memberikan yang
terbaik untukku. Inilah yang seharusnya aku selalu ingat, darah dan air
keringat yang menempel di kiriman mereka akan menjadi dorongan motivasiku untuk
menjadi kebanggaan mereka.
0 komentar: