Arti Sebuah Kepedihan

10.42 Unknown 0 Comments



380 km menjadi jarak terjauh yang aku tempuh. Memang bukan pertama kalinya aku pergi mengunjungi tempat ini, akan tetapi kunjungan kali ini bukanlah untuk melepas kepenatan menjalani kehidupan, yaitu menjadi tempat berawalnya perjalanan pendidikanku di Kota Gudeg Yogyakarta ini.

Menjadi seorang mahasiswa rantau bukanlah paksaan. Jauh dari kampung halaman pun bukanlah keinginan. Terkadang merantau sejauh-jauhnya yang akan menjadi alasan kenapa aku harus pulang ketempat awal mula yaitu kampung halaman.

Melanjutkan pendidikan di kota ini menjadi perjalananku selanjutnya. Memang tak sedikit yang bernasib sama denganku. Banyak mahasiswa yang memang bukan asli dari Kota Gudeg ini, yang pastinya memiliki lika-liku kehidupan yang baru sama sepertiku.

Jauh dari orang tua menjadi motivasi tersendiri untuk proses pendewasaanku. Memang tak mudah, tapi inilah kenyataannya. Sebagai “anak rantau” yang hidupnya harus selalu perhitungan, entah perhitungan waktu, kegiatan, bahkan yang paling terpenting adalah perhitungan uang. Menjalani kehidupan yang jauh dari orang tua, bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Mengatur setiap pengeluaran akan semakin sulit dengan bertambahnya daftar barang yang harus aku pakai. Adakalanya aku harus menahan rasa lapar, bukan karena diet ataupun memang malas untuk makan. Tetapi menahan lapar ini adalah kewajibanku agar uang yang dikirimkan orang tuaku bisa cukup sampai dengan waktu kiriman selanjutnya. Mungkin semua yang aku alami, pastinya telah dirasakan oleh anak rantau lainnya.

Aku harus menyadari bahwa jauh dari orang tua bukanlah menjadikan aku bebas melakukan segala hal. Justru sebaliknya apa yang orang tuaku korbankan untuk memenuhi kebutuhan anaknya, harus aku balas dengan kebanggan yang diharapkan oleh orang tuaku.

Menahan lapar bukan hal yang aneh lagi bagiku. Tapi dari situ aku bisa mengetahui banyak hal. Pengorabanan dari orang tuaku, rasa lapar, lelah, letih, semua itu mereka lupakan agar mereka bisa mencari uang sebanyaknya dan bisa memenuhi kebutuhanku selama aku menitih pendidikan di kota ini.  Sempat aku melupakan hal itu. Saat dimana aku merasakan kebebasan yang memang tak pernah aku raih saat dekat dengan orang tuaku, disitulah aku mulai hancur. Pengorbanan orang tuaku yang mestinya selalu aku ingat dan menjadikannya motivasi agar aku bisa tumbuh justru hanyut karena terbawa suasana yang membawaku hilang kendali. Arus ini yang membuatku harus merasakan rasa pahit menahan lapar dan menunda perasaanku untuk bernafsu makan.


Sekarang aku mengerti. Arti dari rasa pahit yang aku rasakan ini tak sebanding dengan apa yang orang tuaku rasakan bahkan mereka telah biasa  merasakannya hanya untuk memberikan yang terbaik untukku. Inilah yang seharusnya aku selalu ingat, darah dan air keringat yang menempel di kiriman mereka akan menjadi dorongan motivasiku untuk menjadi kebanggaan mereka.

You Might Also Like

0 komentar: